DUNIA NEWS- Apakah sumber daya terkuras karena perang? Bahkan, jawabannya jelas. Menurut beberapa sumber, salah satunya CNN, Bank Israel memperkirakan biaya yang tersedot akibat perang hingga akhir tahun menjadi 66 miliar dolar AS. Dana ini digunakan untuk membeli perumahan bagi warga sipil Israel yang meninggalkan rumah mereka di wilayah utara dan selatan negeri.
Mengingat perang yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, serta Hizbullah, dan Iran, jumlah korban akan terus meningkat. Sebaliknya, warga Lebanon dan Palestina mengalami kerusakan yang jauh lebih parah secara ekonomi dan sosial. Kota mereka telah runtuh. Jutaan orang telah melarikan diri, dan jutaan orang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan. Akibat perang, ratusan ribu anak teantar dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Warga Ukraina juga mengalami hal yang sama. Hingga saat ini, perang melawan Rusia belum berakhir dan bahkan akan menghadapi kompleksitas baru karena kabar tentang kehadiran tentara Korea Utara. Ada spekulasi bahwa tentara Korut akan terlibat dalam perang Ukraina-Rusia.
Sementara itu, ketegangan baru muncul di Selat Taiwan, tempat China dan Taiwan berperang secara langsung. Dunia "kian terbebani" oleh perubahan iklim yang cepat. Itu menyebabkan jutaan orang menderita di banyak tempat di seluruh dunia karena banjir, tanah longsor, deraan hawa panas, atau kekeringan.
Semua masalah itu seolah memasung dunia, membuatnya tampak lebih lama. Sulit untuk menggabungkan kekuatan dan potensi pemulihan sebelum pandemi COVID-19 melanda Bumi.
Membangun perdamaian: Alasan untuk berperang tidak terbatas pada seberapa penting dan mendesak. Perserikatan Bangsa-Bangsa, bersama dengan berbagai organisasi dan lembaga, termasuk Takhta Suci Vatikan, terus-menerus berkampanye untuk bina damai.
Dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-79 yang lalu, Uskup Agung Gabriele Caccia, Wakil Tetap Takhta Suci Vatikan, menegaskan kembali permintaan Takhta Suci Vatikan agar dunia mengurangi pengeluaran militernya, menurut Vatican News. Vatikan juga meminta penghentian pengembangan teknologi senjata baru.
Tantangan etika baru juga diperingatkan oleh Uskup Agung Caccia, terutama terkait dengan pengembangan senjata otonom yang berfungsi tanpa pengawasan manusia. Dalam hal ini, Takhta Suci kembali mendukung instrumen yang mengikat secara hukum, yang akan membuat senjata seperti itu dilarang pada tahun 2026. Vatikan juga meminta negara-negara untuk tidak mengembangkan teknologi ini. Caccia mengklaim bahwa senjata-senjata jenis ini tidak pernah menjadi objek yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Vatikan percaya bahwa senjata hanya menyebabkan konflik, kematian, dan kekerasan, tidak peduli seberapa canggih sistem senjata. Oleh karena itu, Uskup Agung Gabriele Caccia, yang bertindak sebagai perwakilan Paus Fransiskus, sekali lagi meminta masyarakat internasional untuk menekankan pelucutan senjata dan perdamaian.
Sebagai catatan, Vatikan menyatakan bahwa dunia telah membelanjakan lebih dari 2,24 triliun dolar AS untuk keperluan militer hingga tahun 2022. Investasi militer tampaknya akan menyerap sumber daya besar yang seharusnya digunakan untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, kelaparan, kekurangan gizi, dan menciptakan perdamaian di seluruh dunia, mengingat banyak konflik baru yang kini muncul di berbagai wilayah.
Meskipun usaha itu sulit, itu harus dilakukan. Dalam laman resminya, Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta semua pihak untuk menyuarakan perdamaian "lebih keras" lagi. Komunitas diajak untuk menentang berbagai jenis kekerasan, termasuk kekerasan berbasis jender, agama, dan ras. Anak-anak juga harus dididik untuk menciptakan kolaborasi dan menentang perundungan, diskriminasi, dan kekerasan.
Dalam hal perdamaian, pesan yang disampaikan Paus Fransiskus di akhir sinode para uskup di Vatikan adalah, "Di masa perang ini, kita harus menjadi saksi perdamaian."[Rida]***