Review Film A Business Proposal: Adaptasi yang Kurang Matang?


DUNIA NEWS - Sebelum memulai ulasan soal A Business Proposal, ada beberapa hal yang perlu saya cantumkan sebagai catatan di awal mengingat huru-hara yang berkaitan dengan film remake ini.

Pertama, versi drama dari kisah A Business Proposal tidak pernah bisa dibandingkan dengan versi film Indonesia ini. Keduanya memiliki format yang cukup berbeda, eksekusi yang berbeda, selera yang berbeda, dan tentu saja sikap pemain yang berbeda.

Kedua, saya akan berusaha seobjektif mungkin untuk menilai film ini sebagai sebuah karya dalam bentuk film panjang, terlepas drama huru-hara yang mengitari film ini. Tambahan, saya bukan orang yang diundang ke premier meski bukan hater.

Baiklah, mari kita mulai.

Kalau boleh jujur, film A Business Proposal tidak seburuk yang saya bayangkan sebelumnya. Saya memang sudah meragukan film ini semenjak pertama kali diumumkan akan digarap versi remake, terutama soal pemilihan pemain.

Maka dari itu, saya pasang ekspektasi serendah mungkin saat akhirnya menonton film ini di tengah layarnya yang berjatuhan. Hanya satu hal yang membuat ekspektasi saya tak sampai menyeret lantai: posisi Adhitya Mulya sebagai penulis naskah.

Sejujurnya saya mengharapkan cerita gaya khas penulis Jomblo itu dalam membawakan kembali kisah si penerus takhta perusahaan besar dengan perempuan yang kepepet butuh uang, yang populer baik dalam bentuk webtun maupun dramanya.

Pada dasarnya, kisah A Business Proposal atau bernama asli The Office Blind Date dalam bentuk webtun ini sangatlah sederhana. Mungkin saya akan mengategorikan kisahnya seperti Teenlit, atau Serial Cantik, yang menjajakan kisah ringan dan menjual asmara yang "menggemaskan".

Adhitya menggunakan detail-detail lokal sederhana yang ia sebar dalam berbagai bagian cerita. Begitu pula dengan candaan dan jokes, yang sayangnya, Adhitya tak sepenuhnya bisa mengimbangi candaan yang relate dengan demografi pasar film ini.

Akhirnya, cerita A Business Proposal macam kue yang sebagian adonannya matang sempurna mengeluarkan aroma butter, tapi sebagian lainnya belum matang.

Kondisi tak sempurna itu diperparah dari cara sutradara, Rako Prijanto, dalam menggarap film ini. Entah karena Rako sudah sangat percaya dengan Adhitya atau ada alasan lain, saya tak merasakan ada kepaduan dalam film ini sejak awal.

Rako tampak hanya sekadar menjalankan naskah yang sudah ditulis Adhitya ke medium gambar bergerak. Bahkan, saya tak merasakan visi seorang sutradara dalam film ini. Hal tersebut jelas membuat film A Business Proposal seperti proposal tanpa tujuan.

Situasi itu makin tak akan bisa diselamatkan dengan penampilan para pemain yang sebenarnya juga lemah. Dari empat pemain utama, saya hanya melihat penampilan Ariel Tatum yang paling mending dibanding lainnya.

Ariel Tatum terlihat berusaha membawakan karakter Sari atau dalam versi Korea adalah Shin Ha-ri ini, dengan caranya sendiri tanpa harus terjebak dengan bayang-bayang Kim Se-jeong. Beruntung, usahanya tak sia-sia. Sari berhasil muncul dengan auranya sendiri.

Namun situasi 180 derajat terjadi dengan lawan main Ariel Tatum, Abidzar Al-Ghifari. Saya tak bisa banyak berkomentar soal kualitas akting Abidzar yang memang masih belum banyak pengalaman, karena bagi saya, pemilihan Abidzar untuk pemeran utama pria sudah salah sejak awal.

Ada banyak alasan mengapa sejak awal Abidzar tak cocok dengan karakter Utama Wibowo. Namun yang paling saya rasakan adalah, mau diapakan seperti apapun, Abidzar tak punya aura yang dibutuhkan karakternya.

Ia bisa saja didandani dengan segala riasan, dipakaikan pakaian mewah selayaknya chaebol, tapi segala aksesori fisik tersebut tak akan bisa menutupi kehampaan rasa yang ada antara Abidzar dengan Utama.

Saya tak menutup peluang Abidzar mungkin bisa menaklukkan karakter Utama Wibowo, tapi itu akan sangat membutuhkan upaya yang sangat keras dan waktu persiapan yang lebih panjang.[Zahra/CNN]


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form