DUNIA NEWS - Pemerintah kembali membuka rencana memasukkan driver ojek online (ojol) ke dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ide sebenarnya sempat mengemuka saat ada ribut-ribut pembatasan pertalite yang membuat driver ojol terancam tak boleh lagi membeli BBM subsidi itu di SPBU Pertamina.
Setelah itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan driver ojek online tetap berhak membeli pertalite karena dikategorikan sebagai UMKM.
"UMKM semua kemungkinan besar subsidinya dalam bentuk bahan (BBM). Jadi, kalau dia (subsidinya berbentuk) minyak, kita tidak akan mengalihkan ke bantuan langsung tunai (BLT). Nah, ojol akan masuk dalam kategori UMKM," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar itu di Jakarta pada akhir 2024 lalu.
Terbaru, rencana diungkap Menteri UMKM Maman Abdurrahman. Rencana ini sejalan dengan niatnya merevisi UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Pria yang juga berasal dari Partai Golkar itu berharap driver ojol bisa mengantongi kepastian hukum jika masuk ke dalam kategori UMKM. Kendati, Maman menyebut rencana ini masih dalam tahap kajian internal karena revisi beleidnya bahkan baru akan diproses di 2026.
Walau belum ada kejelasan soal rencana ini, sang menteri sudah terang-terangan mengobral janji untuk ojol. Setidaknya ada lima insentif yang bakal diperoleh pengemudi dalam jaringan (daring) jika sah menjadi UMKM.
Pertama, ojol dipastikan berhak membeli BBM subsidi dan gas LPG 3 kg. Kedua, akses kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 6 persen saja.
Keuntungan yang ketiga adalah pemberian pinjaman sampai Rp100 juta tanpa agunan tambahan.
"(Keempat) beberapa fasilitas yang lain, termasuk insentif pajak 0,5 persen bagi omzet pendapatan di bawah Rp4,8 miliar," ungkap Maman di Kantor Kementerian UMKM, Jakarta Selatan, Selasa (15/4).
"Kelima, peningkatan kapasitas dan pelatihan sumber daya manusia. Jadi, artinya beberapa fasilitas yang selama ini kita berikan kepada UMKM," sambungnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty masih meraba apa yang dimaksud Maman. Ia mengaku bingung dengan niat anak buah Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Telisa mempertanyakan bagaimana nanti status kerja sang driver andai dimasukkan kategori UMKM. Ia juga menanyakan apa dokumen atau naskah akademik yang dipakai sebagai landasan ide tersebut.
Ia menegaskan pengemudi ojol adalah pekerja yang berstatus mitra. Sedangkan pihak yang menjalankan usahanya justru si pemilik perusahaan platform, bukan sang driver.
"Memang, ini saya sendiri agak sulit menjawab secara detail karena belum melihat apa sih dokumen dari Kementerian UMKM mengenai latar belakang policy (menjadikan driver ojol sebagai UMKM)? Karena setiap policy kan biasanya ada latar belakangnya," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
"Kita juga harus lihat, benchmark, dari negara lain. Apakah common memasukkan para driver ojol ini ke dalam kategori usaha mikro? Ini harus kita lihat implikasinya seperti apa ke dalam definisi usaha (UMKM) karena tadinya mitra atau tenaga kerja, kemudian jadi unit usaha, kan pasti itu ada konsekuensinya," sambung Telisa.
Namun, ia memilih tak berkomentar jauh apakah sebenarnya rencana ini merupakan akal-akalan pemerintah tak mempermanenkan bonus hari raya (BHR). Telisa menekankan pentingnya melihat secara holistik, bukan dari satu sisi saja.
Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Aloysius Uwiyono malah menangkap maksud Menteri Maman adalah menjadikan perusahaan aplikasi sebagai bagian dari kelompok UMKM.
Ia menilai sah-sah saja jika nantinya aplikator mendapatkan sejumlah fasilitas yang dijanjikan Maman. Namun, ada syaratnya sebelum menetapkan perusahaan aplikasi ojol masuk ke dalam kategori UMKM.
"Jika besarnya modal perusahaan aplikasi maksimum Rp1 miliar, bolehlah masuk ke dalam UMKM," tegasnya.
Aloysius juga menjelaskan soal kepastian hukum driver ojol yang disinggung sang menteri. Ia menekankan bahwa hubungan hukum antara driver dengan pengusaha aplikasi adalah mitra, bukan hubungan kerja.
Menurutnya, para pengemudi itu tetap bukan pekerja dari pengusaha aplikasi. Aloysius menyebut bahwa kementerian terkait memang tidak mengatur hubungan kerja antara driver dan aplikator, melainkan sekadar mengantisipasi modal usaha dari pemilik aplikasi.
Di lain sisi, Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras menilai ide pemerintah sebenarnya menarik.
Ia merasa ini bisa menjadi jalan tengah upaya formalisasi ojol di tengah kebuntuan payung hukum dari Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Formalisasi ojol merupakan kebijakan yang penting di tengah semakin menurunnya lapangan kerja sektor formal di Indonesia. Harapannya, formalisasi ojol dapat memberikan jasa yang lebih terstandar dalam melayani dan menjaga keamanan konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup para pengemudi ojol," bebernya.
Walau, ia meminta pemerintah tetap mengkaji secara mendalam upaya yang terkait lintas sektor ini. Izzudin menyebut ada setidaknya dua aspek yang harus diperhatikan negara.
Aspek pertama adalah kerangka kebijakan yang memastikan bahwa kendaraan operasional ojol benar-benar terdaftar di pemerintah. Implikasinya, ada standar kendaraan dan pelayanan yang harus dipenuhi pengemudi agar bisa terdaftar, misalnya terkait asuransi sampai kelayakan kendaraan.
Jika aspek tersebut terpenuhi, driver baru boleh mendapatkan sederet benefit yang dijanjikan Menteri Maman.
Sedangkan aspek kedua adalah kerangka kebijakan yang memastikan bahwa pengemudi ojol harus terdaftar sebagai UMKM. Ini pada akhirnya membuka kesempatan bagi pengemudi untuk mendapatkan benefit sebagai pelaku usaha, misalnya terkait pelatihan literasi keuangan dan literasi digital.
"Dengan demikian, beberapa manfaat lain dari formalisasi ojol via UMKM adalah perluasan basis perpajakan, perluasan inklusi dan literasi keuangan, perluasan penerima manfaat jaminan sosial, dan berbagai manfaat jaring pengaman sosial lain karena pengemudi ojol telah terdata dan terdaftar oleh pemerintah," jelas Izzudin.
"Harus terdapat dialog dan pembahasan yang mendalam antara kementerian/lembaga (K/L) agar terdapat koordinasi kebijakan yang matang serta mencapai tujuan bernegara. (Dialog) dengan aplikator agar tata kelola data dan platform dapat terjaga baik, dengan pengemudi ojol agar mereka memahami perubahan hak dan kewajibannya, serta dengan akademisi agar dapat memberikan masukan berdasarkan studi dan kajian," tutupnya.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menegaskan memasukkan ojol ke dalam kategori UMKM justru tidak menyelesaikan masalah. Ia menegaskan sebenarnya yang perlu disepakati dan diatur adalah hubungan kerja antara pengemudi ojol dengan pengusaha aplikasi.
Kalau memang tetap disepakati sebagai mitra, pemerintah mesti mengatur hak dan tanggung jawabnya. Ini juga mencakup besaran yang dibagi antara masing-masing pihak dari bayaran penumpang.
"Bila yang disepakati pengemudi sebagai karyawan perusahaan, perlu diatur apa hak dan kewajiban pengusaha serta apa hak dan kewajiban pengemudi sebagai karyawan. Ini termasuk pembayaran iuran jaminan sosial nasional, tunjangan hari raya (THR), bonus. Dengan memasukkan pengemudi ojol sebagai UMKM, pertanyaan di atas (status hubungan kerja driver ojol) belum terjawab," tegas Payaman.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono tegas mengkritik apa yang dilontarkan menteri UMKM. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak relevan serta hanya memperlihatkan ketidakpahaman sang menteri terhadap situasi dan permasalahan yang ada.
Ia menilai Maman tidak nyambung. Pasalnya, akar permasalahan di industri ride hailing adalah relasi kuasa yang timpang antara aplikator dengan mitra pengemudi.
Meski mengusung jargon kemitraan, hubungan kerja yang terbentuk justru relasi kapital-buruh yang eksploitatif. Mitra pengemudi ojol pada akhirnya dibayar murah tanpa pemberian hak dan perlindungan kerja yang memadai.
"Janji menteri UMKM yang ingin memberikan payung hukum kepada ojol sebagai UMKM dengan iming-iming akses ke BBM bersubsidi, gas LPG 3 kg, hingga KUR adalah sesat pikir. Ojol yang umumnya adalah masyarakat kelas bawah memang berhak dan sudah seharusnya menerima subsidi dari negara, tanpa harus berstatus UMKM," kritik Yusuf.
"Memberi status UMKM kepada ojol namun terus membiarkan mereka berstatus mitra aplikator adalah sebuah kesalahan kebijakan yang sangat fatal. Dengan tidak memberi status ojol sebagai karyawan aplikator, sama artinya pemerintah membiarkan eksploitasi ojol oleh aplikator terus berlanjut dengan implikasi kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan ojol," tegasnya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpandangan mirip. Ia menekankan bahwa akar masalahnya adalah nihil regulasi yang menaungi driver transportasi online.
Ia melihat regulasi eksisting terpencar ke beberapa kementerian, seperti tentang tarif yang ada di Kementerian Perhubungan. Sedangkan regulasi bentuk kemitraan ada di Kementerian UMKM, sehingga tak ada aturan dari Kementerian Ketenagakerjaan karena bentuknya kemitraan.
"Maka, sudah sewajarnya memang pengaturan untuk saat ini paling tepat di bawah Kementerian UMKM," ucap Huda.
"Atas dasar itu pula, bentuk kemitraan tidak boleh seperti tenaga kerja yang mengharuskan bekerja sekian jam dan sebagainya. Aturan juga harus dibuat bersama dengan asosiasi driver dengan konsep setara, termasuk tarif. Selain itu, harus ada fasilitasi dari platform untuk akses kepada jaminan kesehatan," tegasnya.
Akan tetapi, ada sejumlah dampak negatif yang akan muncul jika memang semua aturan mainnya terpusat di bawah komando Maman. Ini bahkan mencakup nasib BHR alias tuntutan tunjangan hari raya.
Huda menegaskan driver ojek online terancam tidak bisa lagi menuntut THR jika resmi dinaungi Kementerian UMKM. Walau, ia menilai ini cukup adil mengingat bentuk perjanjiannya adalah kemitraan dan bukan pekerja.
"Tidak dapat menuntut upah minimum dan sebagainya karena memang pendapatan tergantung kinerja masing-masing," bebernya.
Sedangkan dampak positif driver ojol masuk kategori UMKM adalah bisa bekerja lebih fleksibel. Pada akhirnya, aplikator dituntut fair untuk tidak menetapkan batasan waktu aktif para driver.
Kemudian, penentuan algoritma juga berpotensi bisa lebih terbuka. Huda memprediksi tidak akan ada lagi sistem algoritma yang merugikan driver, andai status kemitraan bertahan dan dipertegas Kementerian UMKM.
[Imaa/CNN]