Mampukah RI Bertahan Saat Krisis Beras Landa Malaysia dan Jepan

 

DUNIA NEWS - Indonesia tengah mengejar target swasembada pangan di saat Malaysia dan Jepang dihantam krisis beras.
Negeri Jiran tiba-tiba meminta stok beras Indonesia. Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tegas menolak permohonan Menteri Pertanian dan Keterjaminan Makanan Malaysia YB Datuk Seri Haji Mohamad bin Sabu.
"Menarik, tadi (mentan Malaysia) menanyakan, 'apa bisa kami (Malaysia) impor beras dari Indonesia?'. Saya katakan, untuk sementara kami menjaga stok dulu," kata Amran dalam Konferensi Pers di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (22/4), dikutip dari detikcom.
Mohamad mengakui ada niat mengimpor beras dari Indonesia. Ia menilai Indonesia punya teknologi lebih mahir dalam urusan pertanian ketimbang negaranya.
Bayangan krisis juga menimpa Jepang, yang dilaporkan mengimpor beras dari Korea Selatan (Korsel) untuk pertama kalinya sejak 1999. Beras dari Negeri Ginseng itu sudah tiba di Jepang pada Maret 2025 lalu.
Berdasarkan laporan The Guardian, impor mesti dilakukan Negeri Sakura untuk mengatasi lonjakan harga beras domestik. Harga beras yang ditanam di Jepang naik lebih dari dua kali lipat sejak 2024 lalu, permintaan produk impor pun tak terelakkan.
Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari menilai langkah pemerintah menolak permintaan Malaysia sudah tepat. Pasalnya, cadangan beras milik Indonesia belum cukup kuat, apalagi untuk ekspor.
"Iya, (menolak permintaan Malaysia) sudah tepat. Meskipun tahun ini (2025) stok beras aman, tetapi belum cukup bila dibarengi ekspor. Lebih baik memperkuat cadangan beras di dalam negeri dulu," ucap Syaiful kepada CNNIndonesia.com.
Ia kemudian membedah bagaimana realita yang dihadapi Indonesia. Syaiful menyebut bulan ini memang sudah memasuki masa panen raya di beberapa daerah dan bakal berlanjut sampai Juni 2025 nanti.
Syaiful mencatat peredaran gabah di pasar alias penggilingan padi maupun serapan Bulog relatif aman. Ia meyakini kondisi di lapangan masih sesuai target, yakni antara 2 juta ton sampai 3 juta ton.
"Artinya, stok tersebut cukup untuk cadangan beras pemerintah sampai musim panen berikutnya," tegasnya.
"Jika pemerintah konsisten dengan penyaluran pupuk tepat waktu dan tidak ada perubahan iklim ekstrem, panen berikutnya sekitar September (2025) cadangan beras kita di 2025 ini relatif aman dan tidak perlu impor beras," tutur Syaiful yakin.
Ia menegaskan pemerintah perlu mempertahankan produktivitas panen dan mengulanginya di 2026. Jika ini berhasil, Indonesia boleh berbangga karena telah pulih dari defisit di 2023-2024.
Namun, Syaiful menilai semuanya tergantung konsistensi pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana produksi padi. Ini termasuk bagaimana upaya pencegahan dini dari hama tikus dan penggerek batang.
Sarannya untuk jangka pendek adalah mempertahankan produksi gabah di tahun ini serta tahun depan. Upaya ini sejalan dengan niat swasembada pangan yang dikejar Indonesia, termasuk komoditas beras.
"Sedangkan langkah jangka panjangnya adalah produktivitas hasil panen harus dipulihkan seperti semula, di mana bisa 7 ton-8 ton per hektare secara merata. Selain itu, juga yang harus ditingkatkan adalah rendemen konversi dari gabah kering giling (GKG) ke beras agar tidak banyak kehilangan berasnya," tuturnya.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono membenarkan stok beras milik Indonesia melimpah, tetapi justru lebih ditopang jumlah impor beras di 2024 yang signifikan. Tahun lalu, impor beras mencapai 4,52 juta ton atau yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Dengan suntikan beras sebanyak itu, stok awal tahun ini diperkirakan mencapai 8,14 juta ton.
Datang pula masa panen raya yang dimulai pada Januari 2025 dan puncaknya jatuh di Februari 2025-Maret 2025. Kombinasi inilah, kata Yusuf, yang membuat Indonesia sekarang dinilai banyak pihak punya cadangan beras memadai.
"Demikian kuat kita dipandang memiliki ketahanan pangan yang relatif baik saat ini, hingga konon Malaysia ingin mengimpor beras dari Indonesia. Namun, menurut saya kondisi stok pangan Indonesia saat ini tidak bisa pula disebut sepenuhnya aman. Terlalu jauh bila Indonesia dikaitkan dengan ekspor pangan seperti keinginan Malaysia impor beras dari Indonesia," jelas Yusuf.
Yusuf mengungkapkan Indonesia sebetulnya masih mengimpor beras, walau jumlahnya lebih sedikit. Ada 112 ribu ton beras impor masuk RI sepanjang tiga bulan pertama 2025, memang turun jauh dibandingkan impor 1,44 juta ton pada periode yang sama di 2024. Fakta tersebut menunjukkan ketahanan pangan Indonesia masih jauh dari meyakinkan.
Yusuf memandang food estate atau lumbung pangan bukan jalan keluar dari ancaman krisis pangan. Ia justru menyarankan pemerintah mesti bertindak efektif untuk menghentikan alih fungsi lahan sawah dan merawat family farming yang utamanya berlokasi di Jawa, sebagai lumbung pangan nasional.
"Kebijakan mendorong food estate di luar Jawa adalah salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan kita karena dilakukan di atas hancurnya family farming dan alih fungsi sawah yang masif di Jawa. Kita menyesalkan Presiden Prabowo Subianto yang melanjutkan kebijakan food estate dari Presiden ke-7 Joko Widodo," tegasnya.
Di lain sisi, ia menyoroti bagaimana penurunan kapasitas produksi beras nasional yang diperburuk dengan kelemahan tata niaga beras. Yusuf melihat ada perubahan besar dalam tata niaga beras nasional pada 5 tahun terakhir.
Jalur distribusi dan pemasaran beras yang dulu dikuasai Bulog dan penggilingan kecil serta menengah, kini justru didominasi penggilingan dan pabrik skala besar. Masuknya pemain besar ke jalur distribusi dan pemasaran beras telah mengubah pasar di hulu.
Imbasnya, persaingan yang menguat untuk memperebutkan gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Apalagi, Yusuf melihat stoknya justru semakin menipis.
"Pemain besar yang memiliki jalur pemasaran langsung ke ritel modern dan cenderung memproduksi beras premium, berani membeli GKP di tingkat petani dengan harga yang lebih tinggi dari penggilingan kecil-menengah," jelasnya.
"Ketika pemerintah menetapkan kewajiban pembelian harga gabah Rp6.500 per kg tidak hanya berlaku bagi Bulog dan juga penggilingan swasta, hal tersebut positif. Namun, kebijakan tersebut sebaiknya hanya dilakukan kepada penggilingan skala besar saja," saran Yusuf.
Selain itu, pemerintah diminta mendorong produktivitas penggilingan kecil dan menengah menuju peningkatan daya saing. Tanpa perbaikan produktivitas, kebijakan harga minimum gabah di tingkat petani dianggap berpotensi semakin menggerus daya saing penggilingan skala kecil.
Sedangkan upaya jangka pendek yang bisa ditempuh pemerintah adalah tetap menjaga insentif untuk petani. Terlebih, ia menyoroti bagaimana jatuhnya harga komoditas pangan terus terulang di momen panen raya.
Jatuhnya harga gabah di tingkat petani ini bahkan tak diikuti dengan penurunan harga beras di tingkat konsumen. Harga beras tetap terpantau tinggi dengan kecenderungan terus meningkat.
"Hal ini mengindikasikan adanya keuntungan semakin besar yang dinikmati oleh pengepul atau tengkulak gabah, penggilingan atau pabrik beras, serta grosir atau agen perdagangan beras," beber Yusuf.
"Lebih jauh, kenaikan harga beras cenderung memukul masyarakat kelas bawah lebih keras dibandingkan masyarakat kelas atas. Kenaikan harga beras di pasar tradisional secara umum jauh lebih tinggi dari kenaikan harga beras di pasar modern," tandasnya.
[Imaa/CNN]


Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form